Halaman



Mengawali karir di dunia hiburan tanah air sebagai stand-up comedian, tak ada yang menyangka Ernest Prakasa bisa menjadi salah satu sineas Indonesia yang tak hanya bankable tetapi juga bisa menghasilkan karya-karya berkualitas. Mengawali debut penyutradaraannya di Ngenest yang diadaptasi langsung dari seri buku tentang kisah hidupnya sendiri, kemudian Cek Toko Sebelah yang begitu emosional dan relatable dengan kehidupan sehari-hari, tentu antisipasi terhadap film ketiganya, Susah Sinyal, sangat tinggi, terlebih Ernest menjanjikan sesuatu yang berbeda dari film-film dia sebelumnya.



Susah Sinyal berkisah tentang Ellen (Adinia Wirasti), seorang ibu muda yang merangkap peran sebagai kepala keluarga, pencari nafkah dan juga ibu sekaligus di kehidupannya sehari-hari. Namun ambisi besarnya di perusahaan lawfirm baru yang ia dirikan bersama Iwan (Ernest Prakasa) jauh melebihi keinginannya untuk membangun kembali hubungan dengan keluarganya yang berantakan setelah ditinggal sang suami pergi. Alhasil, Kiara (Aurora Ribero) jauh lebih dekat dengan neneknya (Niniek L. Karim).

Suatu hari, sang nenek tiba-tiba meninggal akibat serang jantung, meninggalkan Ellen dan Kiara berdua saja. Kiara hancur berkeping-keping karena sang nenek adalah satu-satunya orang di dunia yang paling mengerti dan mendukung mimpinya sebagai penyanyi. Sedangkan Ellen melihat ini sebagai kesempatan emas untuk me-reboot kembali hubungan mereka dengan pergi berlibur ke Sumba, sesuai dengan permintaan terakhir sang Nenek.

Satu ciri khas film Ernest yang terasa menghilang dari Susah Sinyal adalah sentuhan orisinalitasannya. Dua film Ernest sebelumnya, Ngenest dan Cek Toko Sebelah, mengedepankan unsur rasial sebagai nilai keunikan di dalam jalinan plot-nya, seperti tentang perkawinan antar dua budaya yang berbeda atau tentang bagaimana kehidupan penduduk chinese sebenarnya di Indonesia, yang berhasil membuat dua film tersebut terasa begitu fresh dan stand-out-from-the-crowd meski di sisi lain kita sudah tahu di mana alur ceritanya akan berakhir. Susah Sinyal tak memiliki keunikan itu. Sure, Ernest’s signature racist jokes are still here to stay, but they’re so watered down until they don’t matter anymore. And we’re not talking about our wishes for another racial themed Ernest Prakasa film, but how he loses his signature originality on his third movie. So yes, it’s quite disappointing that Susah Sinyal ends up to be just as cliche and as predictable as any other similarly themed family films you see every year.

Justru di film Susah Sinyal penyutradaraan Ernest Prakasa-lah yang kini lebih menonjol dibanding penulisan naskahnya. Directing-nya terasa semakin matang dengan timing komedi yang lebih baik dan tidak berlebihan seperti dua film terdahulunya meski secara konten masih hit and miss. The cast ensemble are also amazing, as always. Adinia Wirasti, once again, gives her best in a subtle, but powerful performance as a single mother who finds that reconnecting with her family is far harder than building a successful career. Kemudian aktris pendatang baru Aurora Ribero sebagai karakter anak yang terlihat tangguh dan dingin, namun rapuh di dalam. Di departemen peran pendukung, kita punya Asri Wellas yang mencuri perhatian seperti biasa, kemudian Refal hady yang berperan banyak di kisah cinta pertama si Kiara. Cameo-cameo para komika pun tak lagi dipaksakan dan terasa out of place seperti di Cek Toko Sebelah. Mereka kini juga menjadi bagian dari cerita.



VERDICT: Susah Sinyal masih mengusung tema kekeluargaan yang kuat dan gaya bertutur yang menyenangkan khas Ernest Prakasa dengan penyutradaraan serta timing komedi yang semakin matang. Namun sayang, plot besutannya kini cenderung klise dan kurang sentuhan orisinalitas seperti yang sempat dia hadirkan di dua film sebelumnya, Ngenest dan Cek Toko Sebelah. 



Rating: ★★★½  



SUSAH SINYAL (2017) REVIEW


Menjadi remaja itu fase yang tidak pernah mudah untuk dilalui, terutama di era seperti sekarang ini. Salah seorang karakter utama My Generation mengatakan di opening film bahwa fase remaja adalah saat di mana orang tua mulai berani memaksakan anak-anaknya untuk mengabulkan mimpi-mimpi yang tak pernah tercapai ketika mereka dulu masih muda. Belum lagi, di era internet dan media sosial kehidupan negatif remaja lebih terekspos dan pandangan masyarakat ketika mendengar kata “remaja” sudah cenderung ke hal-hal yang negatifnya daripada positifnya. So yes, no matter what people said about how amazing their past teen life were, It’s never been easy being a teen, especially for the current millenial generation. Inilah kurang lebih apa yang ingin disampaikan oleh sutradara dan penulis Upi melalui film terbarunya, My Generation.




My Generation mengambil kisah dari sudut pandang empat orang sahabat dari kalangan atas. Ada Konji (Arya Vasco), Zeke (Bryan Langelo Warouw), Suki (Lutesha) dan Orly (Alexandra Kosasie) yang berasal dari suku dan latar keluarga yang berbeda. Namun ada satu hal yang membuat mereka tak terpisahkan: mereka berempat merasa dunia telah memperlakukan para remaja, khususnya mereka, dengan tidak adil dan mereka ingin memberontak sampai titik darah penghabisan.

Salah satu hal yang paling saya sukai dari My Generation adalah cara bertuturnya yang dinamis, penuh energi dan karakter-karakternya yang believable. Tidak ada dialog puitis bak penyair, tidak ada cinta monyet, tidak ada cerita kemiskinan, tidak ada seragam sekolah putih abu-abu. Film ini menjauhkan dirinya dari hal-hal cliche dan stereotipikal yang banyak kita jumpai di film-film remaja Indonesia. My Generation adalah tentang kehidupan remaja di luar kegiatan sekolahnya, tentang pola pikir mereka, tentang hal-hal yang jarang diketahui oleh orang-orang tua zaman sekarang tentang anak-anak mereka. And as a teenager myself, I find this movie is very detailed and well-researched. It feels like watching my life being adapted to the screen.

Acungan jempol juga layak dilayangkan ke departemen casting dan keputusan berani Upi untuk menggunaan wajah-wajah baru untuk mengisi peran karakter utamanya. Kuartet Arya Vasco, Lutesha, Alexandra Kosasie, dan Bryan Langelo Warouw tak hanya mendatangkan angin segar di sinema Indonesia, tetapi juga menciptakan chemistry dan performa akting bagus yang membuat film My Generation tetap melaju kencang dan terasa berenergi meski sempat terhalang oleh plot-nya yang monoton di pertengahan film.



Overall, watching My Generation is a treat. Sempat ‘mogok’ di pertengahan, namun bukan berarti My Generation langsung kehilangan energinya begitu saja. Performa dahsyat kuartet bintang utamanya, well-researched script, hingga tata musik, kostum dan set-nya yang tak main-main berhasil menutupi kelemahannya dan membuat My Generation menjadi Indonesian teen movie of the generation.


Rating: 3.5 out of 5 stars




My Generation (2017) Review: Indonesian Teen Movie of the Generation


With such huge ideas and thought-provoking theme, The Circle should have been one of the most intriguing techno-thriller this year. But it ends up otherwise. So what went wrong?



The Circle begins with Mae (Emma Watson), a smart, beautiful young woman who is struggling to find a better job to support her family. One day, her best friend, Annie (Karen Gillan), brings a good news for Mae that she has been scheduled to do a job interview at The Circle, the biggest tech-company in the world. And of course, she nails the interview. 

But things are getting messy (which, ironically, also happen on the movie itself), when her new boss, Bailey (Tom Hanks), launches a new camera technology that’s integrated with his social app, The Circle, to fulfill his obsession to control the world with full openness and wipe people’s privacy for good.


Truth to be told, The Circle starts with a bang. The set-up and its thought-provoking theme are undeniably promising to become another hit for writer / director James Ponsoldt (the guy who brought you Sundance hit 'The Spectacular Now'). Unfortunately, the end product is so ridiculous it almost feels like a Google’s April Fools joke. The script relies heavily on ‘what if’ concept to tell its story. What if the government agree. What if the people agree. What if social media is a terrorism device. What if the world doesn’t want you to have privacy anymore. But with such huge theme, it never goes beyond that ‘what if’ barrier, because everything just happens so easily and exclusively in one big building, The Circle Headquarters, without any notable struggle or conflict in the process. As a result, the whole movie feels like a tedious, pointless first act, where the second and third act never came to fruition until the credits title suddenly appears on the screen and the light illuminates your disappointed, startled faces.

Even the character arc is unbelievably messy. They don’t have clear purposes. They aren’t sympathetic. They even don’t react or have emotions like a normal human being, which make them all look like a weird, creepy cyborg (maybe that’s the intention? Nobody knows). There are also lots of wasted supporting characters, like John Boyega’s I-don’t-know-what-the-hell-is-he-doing character, or Patton Oswalt’s mysterious Stenton, or Karen Gillan’s Annie who magically disappear and reappear to be a “drug addict” without any explanation other than the audience’s guesses. It’s just so poorly written that even big stars like Tom Hanks and Emma Watson couldn’t save it at all. 


One notable thing that kept me interested to finish the whole movie is the theme and the big ‘what if’ ideas they frequently put on the screen. The social media addiction, internet bullying, internet posers, and live apps like Instagram Story or Snapchat that have already been questioning the user’s privacy since its inception, are all relatable to our current condition. For the majority of the movie, The Circle tries so hard to predict the future by putting those social media apps on steroid, but decides to leave those ideas behind when it finally comes to the explanation parts. Most of those ideas are very intriguing and thought-provoking, don’t get me wrong. But in the end, an under-developed idea, no matter how good it is, is just… an unfulfilled potential.


Verdict: With such huge ideas and thought-provoking theme, The Circle should have been one of the most intriguing techno-thriller this year. But it ends up to be another huge disappointments, either for sci-fi fans or regular audience who were anticipating a decent thriller from its impressive cast and the talents behind.


Rating: 2 out of 5 stars



THE CIRCLE (2017) REVIEW


It's not unusual for Marvel to do something totally different with their sequels. From the shocking direction they made in Captain America: The Winter Soldier until the controversial Iron Man 3, Marvel used to do a very expensive experiment with their risky, but highly calculated formula and turned it into a billion dollar success. So why the hell not they don't do it on their most peculiar film yet, Guardians of the Galaxy?



Yes, Guardians of the Galaxy Vol. 2 is a totally different sequel. It doesn't follow the first volume's winning formula or try to expand the universe even bigger—which nearly every franchise would do. Instead, Vol. 2 is focusing itself on answering questions. If the first movie is more like Joss Whedon's Firefly, then Vol. 2 feels more like Star Wars: Empire Strikes Back. No, I didn't mean that this vol. 2 is a far better movie than the first outing. I'm talking about the overall theme and how different it is from its predecessor.

GotG Vol. 2 opens with Peter Quill (Chris Pratt) meeting his long lost dad, Ego (Kurt Russell), who mysteriously appears in space without a space suit and rescues the Guardians from their new client, Ayesha (Elizabeth Debicki), after an awry trade for Nebula (Karen Gillan). She then immediately hires Yondu (Michael Rooker) and his space bandit crew, The Ravager, to hunt down The Guardians and destroy them for good. But some of The Ravager crew have their own agenda.

There's not much to tell about GotG Vol. 2 without spoiling all the fun. That's why, all the trailers they have released only show you the first 15 minutes of the movie. Oh yes, you read that right. If you're already blown away by the trailer, just prepare to be amazed. The visuals and action sequences in GotG Vol. 2 are so freaking insane; way much bigger, funnier, and crazier than Vol. 1.

The main theme in GotG Vol. 2 is now all about family (which may explain why some of the interesting characters from Vol. 1, like the Nova Corp. and The Collector, didn’t make any appearances). Peter Quill tries to uncover his dark past along with his mysterious dad figure. Gamora and Nebula try to form a healthy relationship as sisters. The other supporting characters, Rocket and Yondu, now also have more screen time to tell their own back stories and grow the characters even deeper because they spent lots of time together along with Baby Groot. And finally, the hilarious screen duo, Drax and Mantis, will make you laugh so hard every time they are appearing on the screen.


But of all those returning and new characters, Yondu is actually the one who truly steal the spotlight (okay, second to Baby Groot if he's too adorable for you). Writer / director James Gunn just made him one of the best supporting characters ever in MCU. His back story and the real reasons why he's such a dick back in Vol 1—and on the first half of Vol 2—will make you cry like a baby. His role in Vol. 2 reminds me a lot to the ambiguous Professor Snape from Harry Potter series.

Also, like any other Marvel movies, there will be lots of easter eggs, extra credits scenes (there are FIVE!), and an unexpected introduction to the brand new Marvel superheroes due to release as part of the MCU Phase 4 in 2020.

Unfortunately, GotG vol. 2 still has one major flaw that all Marvel fans have been clamoring about for nearly a decade. The villain in Vol. 2… sucks. The first GotG has been remembered as the first movie ever in MCU where the upcoming Avengers' big bad baddie, Thanos, and Infinity Stone were introduced properly and did real shit to our heroes through Ronan The Accuser. Unfortunately, they are not coming back in Vol. 2. Instead, Marvel uses a new roster of boring villains. And to make things worse, lots of them are just a set up for the inevitable MCU phase 4. I won't spoil you who the main villain is, but he / she is nothing compared to Thanos. It's not as bad and as forgettable as Malekith (yeah, you probably have forgotten who the hell he was), but it's not that far away from him.



Verdict: Weaker in plot, but stronger in character development and relationship, Guardians of the Galaxy Vol. 2 is now a Star Wars-esque family drama, with stunning visuals and incredible chemistry from the ensemble cast to make it just as amazing and as fun as the Vol. 1.


Rating: 4 out of 5 stars



Guardians of the Galaxy Vol. 2 (2017) Review


Tanpa tekad dari sutradara Justin Lin untuk membangkitkan franchise Fast and Furious dengan mengubah haluannya ke genre heist di installment ke lima, mungkin seri Fast and Furious tidak akan sesukses seperti sekarang ini. Berawal dari remake lepas film balapan liar tahun 1955, ‘The Fast and the Furious’, yang kemudian sempat mati suri di seri ke 3-nya, Tokyo Drift, hingga menjadi salah satu franchise film terbesar di dunia, kisah di balik layar film-film Fast and Furious memang tak kalah menarik dengan adegan aksi gila-gilaannya. Tetapi setelah Justin Lin menutup kisah Fast and Furious hingga menjadi satu lingkaran utuh, dan ditambah lagi dengan kematian mendadak Paul Walker, banyak fans yang mengira kalau franchise ini sudah berakhir di film ke tujuhnya. Bahkan pihak Universal pun sempat mengatakan hal yang serupa, bahwa franchise ini tidak akan dilanjutkan tanpa Paul Walker.

Well, fast forward to 2017 and $1.5 billion later, Universal dan produser Vin Diesel akhirnya memutuskan moving on dan merilis Fast and Furious 8 (di U.S. judulnya The Fate of the Furious) dengan nafas baru dan cerita fresh yang digadang-gadang akan menjadi awal dari trilogi baru. Tentu saja, tanpa pengganti Paul Walker di dalamnya, for better or worse.



Film dibuka dengan adegan balapan liar (a welcome treat for long time fans!) yang dilakukan oleh Dominic Toretto (Vin Diesel) untuk menyelunasi hutang sepupunya ketika dia dan Letty (Michelle Rodiguez) sedang berbulan madu di Cuba. Masalah besar dimulai ketika Cipher (Charlize Theron) tiba-tiba muncul di hadapan Dom dan menunjukkan sesuatu yang sangat mengejutkan hingga memaksanya harus mengkhianati seluruh teman-temannya di sebuah misi pencurian senjata berbahaya. Ketika segalanya hancur, termasuk kepercayaan tim terhadap Dom, Mr. Nobody (Kurt Russell) kembali mengumpulkan orang-orang terbaik di bidangnya untuk menghadapi musuh paling cerdas yang pernah mereka hadapi.

Absennya Paul Walker dan Jordana Brewster dari tim memang membuat The Fate of the Furious sedikit kehilangan momentumnya. Bayangkan reaksi emosional yang akan mereka tampilkan ketika Dom mengkhianati keluarganya. Atau ketika mereka berhadapan langsung dengan Dom dan harus melakukan pilihan terberat mereka, antara membiarkannya atau menghajarnya habis-habisan. Alih-alih, beban emosional itu justru diletakkan sepenuhnya pada Letty, yang sayangnya, juga tidak bisa memberi dampak maksimal yang kita ekspetasikan.



Untunglah, sutradara F. Gary Gray dengan sigap mengakalinya dengan mengedepankan chemistry dan karakter-karakter favorit kita yang lagi-lagi tampil sangat kuat. Tyrese Gibson, Lucadris, dan Nathalie Emmanuel kini mendapat lebih banyak screen time untuk melawak dan meleburkan suasana tegang. Sedangkan Kurt Russell, The Rock, dan Jason Statham menampilkan fitur-fitur terbaik mereka: menjadi badass segila yang mereka bisa. Pendatang baru Charlize Theron pun juga tampil memukau sebagai villain paling kejam dan terbaik yang pernah ditampilkan oleh franchise Fast and Furious. Terkadang berjibun karakter tersebut memang sempat menimbulkan kesan terlalu penuh dan membiarkan beberapa karakter baru seperti Magdalene (Helen Mirren) dan Little Nobody (Scott Eastwood) tidak begitu berguna. But it’s really not a deal breaker.

Adegan aksi dan stunt gila-gilaan juga tak luput dari fokus Gary. Mulai dari adegan kabur dari penjara, car chase di jalanan kota New York yang tak akan pernah kalian lihat sebelumnya, hingga kejar-kejaran dengan kapal selam di hamparan es Russia, The Fate of the Furious kembali menaikkan standard adegan aksi franchise ini ke level yang lebih tinggi lagi. Semua itu terasa lebih asyik lagi ketika Gary mengeksekusinya seperti film-film espionage ala Mission: Impossible dan menggabungkannya dengan winning formula franchise Fast and Furious, mobil keren dan chemistry antar cast-nya yang tak tertandingi.



Jadi ya, ketika kalian berpikir kalau Fast and Furious seharusnya sudah berakhir saja di seri ke tujuh, Universal dan Vin Diesel justru membuktikan kalau franchise ini belum kehabisan gas. Lebih besar, lebih gila, dan lebih bagus dari sebelumnya, tanpa harus mengurangi nuansa kekeluargaan dan tried-and-true formulanya, The Fate of the Furious berhasil menjadi salah satu seri terbaik Fast and Furious. This franchise does age like wine!


Rating: 3.5 out of 5 stars


FAST AND FURIOUS 8 (2017) REVIEW: SALAH SATU SERI TERBAIK FAST AND FURIOUS



Berikut daftar 25 film terbaik tahun 2016 versi A Cinephile's Diary. Percaya atau tidak, 20 dari 25 film yang ada di list ini pernah tayang di bioskop Indonesia. Bisa tebak yang mana saja? ;)




25.
The Nice Guys
US / Crime / Directed by: Shane Black

The Nice Guys is a retro noir black comedy from the 70s that only Shane Black can do. It’s hilarious, powerfully acted, and thrilling without sacrificing the plot. Ryan Gosling and Russell Crowe were amazing!


24.
The Girl with all the Gifts
UK / Horror / Directed by: Colm McCarthy

The Girl with all the Gifts adalah satu dari segelintir film zombie yang inovatif, berbeda, dan dengan hebatnya menggunakan tema zombie sebagai analogi untuk menyampaikan pesan kemanusiaannya. It’s like Planet of the Apes meets 28 Days Later


23.
Dear Zindagi
India / Drama / Directed by: Gauri Shinde
Bombastis, baik secara visual maupun emosi, Dear Zindagi adalah film tentang emansipasi, filosofi kehidupan, dan cinta yang dengan hebatnya diramu menjadi sebuah tontonan ringan yang mudah untuk dicerna. This movie will stay with you for a very long time. 


22.
The Wailing
Korea / Horror / Directed by: Na Hong-jin

The Wailing adalah film horror 2,5 jam yang penuh terror dan misteri berlapis-lapis yang tidak akan pernah berhenti mengejutkanmu hingga klimaks filmnya yang sangat gila itu. Banyaknya adegan-adegan ganjil dan petunjuk penting yang diceritakan dalam medium visual saja mungkin membuat film ini sulit untuk dipahami hanya dalam sekali tonton, tapi percayalah, The Wailing adalah masterpiece yang sayang sekali untuk dilewatkan. Oh ya, persiapkan mentalmu untuk menyaksikan salah satu adegan pengusiran setan tergila yang pernah dibuat.


21.
Deadpool
US / Action / Directed by: Tim Miller

Dikucuri budget yang “hanya” sebesar $58 juta, sutradara Tim Miller beserta tim marketing-nya menggunakan Ryan Reynolds dan segala resource yang ada sebaik-baiknya untuk mengangkat pamor proyek film Deadpool dari hanya sekedar “mimpi basah” para fans-nya hingga menjadi sebuah global phenomenon. Hasilnya? Film ini sukses membuktikan bahwa ia tidak butuh budget raksasa untuk membuat one-of-a-kind superhero movie yang luar biasa seru, penuh kejutan, dan membuat penontonnya terpingkal-pingkal dari awal film sampai akhir.


20.
Captain America: Civil War
US / Action / Directed by: Russo Brothers

Sutradara Russo Brothers mengambil jalan yang jauh berbeda dalam bertutur dan menyajikan konflik internal antar anggota Avengers dibandingkan film-film MCU sebelumnya. Tidak ada super villain maupun alien penghancur kota di film ini, yang ada hanya para superhero kita berperang dengan diri mereka sendiri dan masyarakat yang mereka lindungi selama ini. They successfully turns Captain America: Civil War into the greatest, darkest, and most heartbreaking installment in MCU yet.


19.
Lion
Australia / Biography / Directed by: Garth Davis

Kalau kalian sering menonton film-film tear-jerker ala Asia tentang seorang anak yang mencari orang tua aslinya, Lion memang tidak ada bedanya dengan film-film tersebut. Tetapi bagaimana Garth Davis menceritakan kisah nyata ini dengan formula klasik yang tidak cengeng dengan dukungan penampilan cemerlang dari Dev Patel dan Sunny Panwar, Lion berhasil menjadi film formulaic yang bekerja secara maksimal di segala aspeknya. it’s almost impossible to not cry and falling in love with Lion.


18.
Swiss Army Man
US / Adventure / Directed by: Dan Kwan & Daniel Scheinert

The weirdest movie of 2016 ends up to be one of the best films of 2016. Bisa bayangkan, kisah petualangan tentang seorang penyendiri bersama mayat (Daniel Radcliffe!) yang punya kentut berkekuatan super dan bisa menunjuk arah dengan ereksi penisnya untuk keluar dari pulau terpencil tempat mereka terdampar, tetapi bisa berhasil menjadi tontonan yang sangat menawan dan menguras habis emosi penontonnya? It took courages and hefty ammounts of creativities to make it work wonderfully and magically. We absolutely need more original movies like this in the future.


17. 
The Witch
UK / Horror / Directed by: Robert Eggers

The Witch adalah salah satu film horror supernatural bagus yang tidak ingin kamu tonton lagi. Bukan, bukan karena membosankan, tetapi saking disturbing dan memilukannya film ini. Sutradara Robert Eggers meningkatkan intensitas terornya perlahan-lahan dalam setiap guliran durasinya, baik lewat adegan-adegan mengerikan maupun cara berpikir karakter-karakter utamanya yang tak akan kalian duga. The Witch is the truest form of horror movie that should be experienced in cinema.


16.
Zootopia
US / Animation / Directed by: Byron Howard & Rich Moore

Jujur, dari seluruh nominee Best Picture dan Best Animated Feature di ajang Oscar tahun 2017, hanya Zootopia yang tampil paling kuat dan blak-blakan dalam menyampaikan pesan kemanusiaan dan sindiran keras terhadap pemerintahan Donald Trump. Film ini jelas bukan film animasi hewan berbicara sembarangan yang bisa kalian lewatkan begitu saja. It pushes the boundaries of what animated films can do.


15.
Don’t Breathe
US / Horror / Directed by: Fede Alvarez

Sederhana namun begitu efektif, Don’t Breathe adalah inovasi dalam genre horror / home invasion terhebat di sepanjang tahun 2016 kemarin. Fede Alvarez is a real talent in horror filmmaking.


14.
Jackie
US / Drama / Directed by: Pablo Larrain

Aspek terbaik dalam film Jackie adalah cinematography brilian arahan Stephane Fontaine yang di-ignore dengan tak terhormat oleh Oscar. Dalam aspect ratio yang tidak lazim digunakan lagi yaitu 1.66:1 dan tone warna sendu yang hanya bisa dihasilkan oleh kamera seluloid, Jackie terasa seperti sebuah dokumenter kisah hidup yang sangat personal, surreal, dan intimate dari seorang first lady Jackie Kennedy ketika JFK dibunuh dan bagaimana dia mempersiapkan pemakaman presiden Amerika itu. Musik gubahan Mica Levi dan performa Natalie Portman yang menakjubkan berhasil menyempurnakan Jackie menjadi salah satu film biografi terbaik dan paling menantang tahun 2016 kemarin.


13.
Kubo and the Two Strings
US / Fantasy / Directed by: Travis Knight

Imajinatif, seru, dan revolusioner secara visual, Kubo and the Two Strings adalah film animasi yang paham betul bagaimana cara menuturkan dongeng fantasi yang bisa tampil mengesankan sekaligus tetap bersama penontonnya jauh setelah credits title-nya bergulir, yaitu dengan hati dan ketulusan.


12.
Elle
France / Erotic Thriller / Directed by: Paul Verhoeven

Sejak menit pertama hingga akhir, Elle sudah tahu betul bagaimana menggiring penontonnya untuk langsung terhisap ke dalam cerita: tegas, genius, dan tanpa basa-basi seperti karakter Michelle yang diperankan dengan sempurna oleh Isabelle Huppert. Elle is definitely a must see for anyone who called themselves ‘movie fans’.


11.
10 Cloverfield Lane
US / Thriller / Directed by: Dan Trachtenberg

Sudah cukup lama kita tidak disuguhi film thriller satu tempat yang bisa tampil serapi dan sehebat 10 Cloverfield Lane dalam membuka lapisan misterinya perlahan-lahan hingga third act-nya yang mengejutkan itu. All the main cast and character developments were really amazing, especially John Goodman. He should have been nominated for Oscar for his outstanding performance in this movie.


10.
Dangal
India / Biography / Directed by: Nitesh Tiwari

Mengkritik namun tidak sok pintar. Inspiratif namun tidak preachy. Kolaborasi maut antara Aamir Khan Productions dan Walt Disney Pictures ini berhasil menyuguhkan sebuah film drama olahraga paling powerful dan paling menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Tidak heran kalau film ini sempat menjadi film India terbaik sepanjang masa di situs IMDB.


9.
Hidden Figures
US / Drama / Directed by: Theodore Melfi

Dengan performa akting yang luar biasa dari ensemble cast-nya serta gaya bertutur yang ringan namun tegas dan blak-blakan, Hidden Figures adalah film biografi yang luar biasa powerful tentang women’s empowerment dan ras kulit hitam, tanpa pernah sekalipun bersikap ‘minta dikasihani’ ataupun mengorbankan alur plot-nya demi mencekok sindiran-sindiran sosialnya ke penonton. Film ini lebih condong kepada pesan ‘lihat, betapa kuat dan hebatnya mereka! Perempuan dan orang kulit hitam sama derajatnya dengan kita!’ daripada ‘kasihan ya mereka yang berkulit hitam derajatnya selalu ada di bawah orang berkulit putih.’ Apabila Oscar memang ingin memenangkan film tentang #BlackLivesMatter di kategori Best Picture-nya tahun ini sebagai bentuk protes dan human equality, seharusnya mereka memilih Hidden Figures daripada Moonlight. Karena “At NASA, we all pee the same color” jauh lebih mengena daripada “who is you?”


8.
Hacksaw Ridge
US / Action / Directed by: Mel Gibson

Luar biasa mencekam tanpa kehilangan daya tariknya sedikitpun dari awal sampai akhir, tak ada yang menyangka bahwa film religi dengan premise konyol ‘seorang tentara perang dunia yang tidak mau membunuh musuhnya’ seperti itu bisa menjadi salah satu film perang terbaik sejak Saving Private Ryan. Sungguh sebuah ajang comeback Mel Gibson yang fantastis.


7.
Eye in the Sky
UK / Thriller / Directed by: Gavin Hood

Eye in the Sky adalah sebuah film thriller politik yang luar biasa menegangkan tentang seorang gadis cilik yang menghalangi misi tentara Amerika gara-gara dia berjualan roti di depan rumah seorang teroris. Bukan, ini bukan bercandaan. Kalian harus menyaksikan sendiri kehebatan Gavin Hood merangkai Eye in the Sky menjadi salah satu film penuh dialog yang akan membuatmu ingin loncat-loncat di atas kursi dan menjambak-jambak rambutmu saking serunya.


6.
Train to Busan 
Korea / Action / Directed by: Yeon Sang-ho

Train to Busan berhasil menggabungkan kritik sosial, hubungan ayah-anak, dan adegan aksi berdarah-darah tanpa henti yang luar biasa serunya itu dalam satu paket film thriller zombie yang tidak hanya membuatmu tak berkedip di kursi, namun juga mengajakmu untuk berpikir dalam-dalam bahwa di tengah bencana terdahsyat sekalipun, manusia tetaplah menjadi musuh terbesarmu untuk bertahan hidup.


5.
The Handmaiden
Korea / Erotic Thriller / Directed by: Park Chan-wook

Seksi, mengejutkan, dan juga luar biasa cantik baik dari segi teknis maupun artistiknya, The Handmaiden adalah sebuah pengalaman sinematis yang tak terlupakan dan kembali membuktikan bahwa Park Chan-Wook (Oldboy) adalah salah seorang sineas terhebat yang kita miliki saat ini. Sayang sekali, Korea tidak mengirim film ini ke Academy Awards 2017.


4.
A Monster Calls
UK / Fantasy / Directed by: J.A. Bayona

Di tangan sutradara J.A. Bayona, A Monster Calls berhasil menjadi sebuah film drama keluarga yang sangat sensitif dan menyentuh, namun tak serta merta terjerumus ke dalam drama tear jerker yang eksploitatif. Bersiaplah untuk banjir air mata sekaligus tersenyum lebar ketika menyaksikan twist besarnya di akhir film. This is one the most underrated films of 2016 that’s completely ignored by the award season, but you shouldn’t.


3. 
Your Name
Japan / Romance / Directed by: Makoto Shinkai

Your Name is everything you won’t expect to work so well, let alone, being one of the greatest animated films ever made. Premise-nya sendiri, tentang laki-laki dan perempuan yang bertukar tubuh, juga sudah bukan hal yang baru lagi apabila kalian pernah menonton drama panggung anak SMA dan tidak asing dengan manga / anime Jepang. Tetapi di tangan sutradara / penulis Makoto Shinkai, premise klise seperti itu pun bisa disulapnya menjadi sebuah tontonan fantasy yang terasa baru, sangat emosional, dan penuh dengan kejutan yang totally unforgettable. Meskipun kalian termasuk dalam segelintir orang yang tidak cocok dengan anime, berilah Your Name kesempatan untuk menyihirmu dengan kecantikan animasinya dan kepiawaian Makoto Shinkai dalam bertutur. Trust me, you won’t regret it.


2.
La La Land
US / Musical / Directed by: Damien Chazelle

La La Land is a visual and musical wonder, told in the story of everybody who dare to dream. The chemistry, the songs, the visuals, the performances are blending perfectly into an unforgettable, one-of-a-kind cinematic experience. I fell in love instantly by how director / writer Damien Chazelle use the eye popping colors and murals to set the mood and tone for the chapters in La La Land. Or how he captured the hearts, passion, and the power of music in a gorgeous 2.55:1 photography. Or how he wrapped the story of Sebastian and Mia in a powerful, incredibly beautiful musical presentation unlike anything you’ve ever seen.

I could go on and on, but that would be a waste of time, because everything in La La Land is beyond magical. It’s a tribute, a love letter to Hollywood golden ages and the power of cinema that’s so beautiful it’s indescribable. So go, experience it immediately in cinema, this is probably your only chance because Hollywood absolutely don’t make films like this anymore.


1.
Arrival
US / Sci-fi / Directed by: Dennis Villeneuve


Thought-provoking, beautifully filmed, and expertly paced, Arrival is truly one of the greatest, most important science fiction films ever made. Film ini tidak hanya sekedar kisah alien invasion yang menegangkan, tetapi juga sebuah fiksi ilmiah yang memuat pesan-pesan besar tentang moralitas, kehidupan, dan cinta yang dituturkan dengan begitu tegas dan luar biasa oleh sutradara Denis Villeneuve. Amy Adams menampilkan performa terbaiknya di film ini.


25 BEST FILMS OF 2016