Halaman


Menjadi remaja itu fase yang tidak pernah mudah untuk dilalui, terutama di era seperti sekarang ini. Salah seorang karakter utama My Generation mengatakan di opening film bahwa fase remaja adalah saat di mana orang tua mulai berani memaksakan anak-anaknya untuk mengabulkan mimpi-mimpi yang tak pernah tercapai ketika mereka dulu masih muda. Belum lagi, di era internet dan media sosial kehidupan negatif remaja lebih terekspos dan pandangan masyarakat ketika mendengar kata “remaja” sudah cenderung ke hal-hal yang negatifnya daripada positifnya. So yes, no matter what people said about how amazing their past teen life were, It’s never been easy being a teen, especially for the current millenial generation. Inilah kurang lebih apa yang ingin disampaikan oleh sutradara dan penulis Upi melalui film terbarunya, My Generation.




My Generation mengambil kisah dari sudut pandang empat orang sahabat dari kalangan atas. Ada Konji (Arya Vasco), Zeke (Bryan Langelo Warouw), Suki (Lutesha) dan Orly (Alexandra Kosasie) yang berasal dari suku dan latar keluarga yang berbeda. Namun ada satu hal yang membuat mereka tak terpisahkan: mereka berempat merasa dunia telah memperlakukan para remaja, khususnya mereka, dengan tidak adil dan mereka ingin memberontak sampai titik darah penghabisan.

Salah satu hal yang paling saya sukai dari My Generation adalah cara bertuturnya yang dinamis, penuh energi dan karakter-karakternya yang believable. Tidak ada dialog puitis bak penyair, tidak ada cinta monyet, tidak ada cerita kemiskinan, tidak ada seragam sekolah putih abu-abu. Film ini menjauhkan dirinya dari hal-hal cliche dan stereotipikal yang banyak kita jumpai di film-film remaja Indonesia. My Generation adalah tentang kehidupan remaja di luar kegiatan sekolahnya, tentang pola pikir mereka, tentang hal-hal yang jarang diketahui oleh orang-orang tua zaman sekarang tentang anak-anak mereka. And as a teenager myself, I find this movie is very detailed and well-researched. It feels like watching my life being adapted to the screen.

Acungan jempol juga layak dilayangkan ke departemen casting dan keputusan berani Upi untuk menggunaan wajah-wajah baru untuk mengisi peran karakter utamanya. Kuartet Arya Vasco, Lutesha, Alexandra Kosasie, dan Bryan Langelo Warouw tak hanya mendatangkan angin segar di sinema Indonesia, tetapi juga menciptakan chemistry dan performa akting bagus yang membuat film My Generation tetap melaju kencang dan terasa berenergi meski sempat terhalang oleh plot-nya yang monoton di pertengahan film.



Overall, watching My Generation is a treat. Sempat ‘mogok’ di pertengahan, namun bukan berarti My Generation langsung kehilangan energinya begitu saja. Performa dahsyat kuartet bintang utamanya, well-researched script, hingga tata musik, kostum dan set-nya yang tak main-main berhasil menutupi kelemahannya dan membuat My Generation menjadi Indonesian teen movie of the generation.


Rating: 3.5 out of 5 stars




My Generation (2017) Review: Indonesian Teen Movie of the Generation


Menjadi remaja itu fase yang tidak pernah mudah untuk dilalui, terutama di era seperti sekarang ini. Salah seorang karakter utama My Generation mengatakan di opening film bahwa fase remaja adalah saat di mana orang tua mulai berani memaksakan anak-anaknya untuk mengabulkan mimpi-mimpi yang tak pernah tercapai ketika mereka dulu masih muda. Belum lagi, di era internet dan media sosial kehidupan negatif remaja lebih terekspos dan pandangan masyarakat ketika mendengar kata “remaja” sudah cenderung ke hal-hal yang negatifnya daripada positifnya. So yes, no matter what people said about how amazing their past teen life were, It’s never been easy being a teen, especially for the current millenial generation. Inilah kurang lebih apa yang ingin disampaikan oleh sutradara dan penulis Upi melalui film terbarunya, My Generation.




My Generation mengambil kisah dari sudut pandang empat orang sahabat dari kalangan atas. Ada Konji (Arya Vasco), Zeke (Bryan Langelo Warouw), Suki (Lutesha) dan Orly (Alexandra Kosasie) yang berasal dari suku dan latar keluarga yang berbeda. Namun ada satu hal yang membuat mereka tak terpisahkan: mereka berempat merasa dunia telah memperlakukan para remaja, khususnya mereka, dengan tidak adil dan mereka ingin memberontak sampai titik darah penghabisan.

Salah satu hal yang paling saya sukai dari My Generation adalah cara bertuturnya yang dinamis, penuh energi dan karakter-karakternya yang believable. Tidak ada dialog puitis bak penyair, tidak ada cinta monyet, tidak ada cerita kemiskinan, tidak ada seragam sekolah putih abu-abu. Film ini menjauhkan dirinya dari hal-hal cliche dan stereotipikal yang banyak kita jumpai di film-film remaja Indonesia. My Generation adalah tentang kehidupan remaja di luar kegiatan sekolahnya, tentang pola pikir mereka, tentang hal-hal yang jarang diketahui oleh orang-orang tua zaman sekarang tentang anak-anak mereka. And as a teenager myself, I find this movie is very detailed and well-researched. It feels like watching my life being adapted to the screen.

Acungan jempol juga layak dilayangkan ke departemen casting dan keputusan berani Upi untuk menggunaan wajah-wajah baru untuk mengisi peran karakter utamanya. Kuartet Arya Vasco, Lutesha, Alexandra Kosasie, dan Bryan Langelo Warouw tak hanya mendatangkan angin segar di sinema Indonesia, tetapi juga menciptakan chemistry dan performa akting bagus yang membuat film My Generation tetap melaju kencang dan terasa berenergi meski sempat terhalang oleh plot-nya yang monoton di pertengahan film.



Overall, watching My Generation is a treat. Sempat ‘mogok’ di pertengahan, namun bukan berarti My Generation langsung kehilangan energinya begitu saja. Performa dahsyat kuartet bintang utamanya, well-researched script, hingga tata musik, kostum dan set-nya yang tak main-main berhasil menutupi kelemahannya dan membuat My Generation menjadi Indonesian teen movie of the generation.


Rating: 3.5 out of 5 stars




No comments