Halaman


2013 / US / 143 Minutes / Zack Snyder / 2.39:1 / PG-13 

Proyek film Man of Steel telah menimbulkan kehebohan dalam skala besar selama bertahun-tahun sejak Warner Bros mengumumkan bahwa tinta tanda tangan sekomplotan dream team yang terdiri dari Christopher Nolan, Zack Snyder, Hans Zimmer dan David S. Goyer telah terabadikan di atas surat kontrak. Jalinan kerjasama keempat orang ini terlihat begitu surreal dan tidak dapat dipercaya, because it’s just too good to be true. Reputasi film ini semakin sekuat baja ketika trailer demi trailernya yang sangat luar biasa itu dirilis dan disaksikan puluhan juta kali oleh penduduk bumi--bahkan saya yakin bahwa pihak Marvel sendiri sempat gugup menghadapinya. Apakah Man of Steel berhasil mengalahkan musuh terbesarnya, yakni gempuran hype dari para fans setianya sendiri?

How Much Do You Know About Him?


Mengulas Man of Steel ini dapat dikatakan gampang-gampang susah karena penonton film ini dibagi menjadi dua kubu; dan pemikiran dari salah satu kubu pasti akan sangat bias satu sama lain. 

Kubu pertama, mereka adalah para geek sejati yang sudah mengerti segala seluk-beluk karakteristik Superman dari A-Z dan mengaku sangat puas seusai menyaksikan film ini, bahwa Man of Steel adalah film Superman yang sejati. 

Sedangkan kubu kedua, adalah penonton yang hanya memahami universe filmnya saja, yang dengan kata lain, menjadi geek yang bersumber dari lingkup film saja. Pengetahuannya hanya terbatas pada detail-detail yang berkaitan dan yang sudah disuguhkan oleh film-film terdahulu, dan tidak mengerti mengenai apa yang disajikan di media lainnya (ntah itu komik, cerpen, novel, game, or whatever). 

Sebagai pecinta film, kita semua paham bahwa film adalah sebuah karya seni yang harus dapat dinikmati dan dipahami intisarinya oleh masyarakat luas sebagai satu kesatuan--terutama apabila film tersebut berjenis kelamin blockbuster. Man of Steel dapat dikatakan gagal memenuhi kriteria tersebut apabila pada kenyataannya terdapat banyak para penikmat film serta para geek yang sangat menyukainya, dan ada pula yang sangat tidak menyukainya. 

Tetapi dalam kasus ini bukan karena disebabkan oleh "berbeda itu indah" atau karena "tiap orang punya suara", tetapi lebih karena film ini memang mengandung elemen-elemen yang dapat dikatakan cukup segmented dan tidak bersifat universal, sehingga dengan kata lain, penilaian bagus tidaknya film ini akhirnya harus kembali pada apa yang anda harapkan dan pengetahuan apa saja yang telah menjadi bekal persiapan anda sebelum menyaksikan Man of Steel. 

Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang baru bagi Zack Snyder, atau David S. Goyer, atau Christopher Nolan sendiri. Zack Snyder berhasil membuat Watchmen sebagai film superhero yang dapat dinikmati oleh semua orang, baik penonton biasa ataupun fans berat Watchmen, tanpa harus berbekal ilmu pengetahuan dasar mengenai universe Watchmen itu sendiri. Sedangkan David S. Goyer dan Christopher Nolan, berhasil memperkenalkan ulang sosok Batman sebagai simbol kepahlawaan yang luar biasa. 

Dan persamaan antara ketiga orang di atas ini adalah, mereka berhasil menyuguhkan terjemahan sinematik dari tiap lembar komiknya dengan introduksi yang sangat kuat, menarik, dan dapat memuaskan baik penonton awam maupun fans beratnya. 

Think Simpler. Expect Less.

Man of Steel dibuka dengan adegan prolog yang cukup panjang. Jor-El (Russell Crowe) memutuskan untuk mengirim putranya, Kal-El, ke bumi ketika ia mendapati bahwa planet tempat tinggalnya, Krypton, akan binasa. 

Di bumi, pesawat Kal-El mendarat dengan selamat dan ditemukan oleh sepasang suami-istri, Jonathan Kent (Kevin Costner) dan Martha Kent (Diane Lane). Kal-El (degan nama bumi Clark Kent) tumbuh bersama mereka dan lambat laun menyadari bahwa ia memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia. 

Clark Kent (Henry Cavill) kemudian memutuskan untuk menghabiskan masa remajanya dengan mencari jati diri, bereksplorasi ke seluruh dunia hingga akhirnya ia berhasil menemukan asal mula dirinya dan bertemu dengan General Zod (Michael Shannon), pentolan planet Krypton yang ingin mengambil sesuatu yang hanya dimiliki oleh Clark Kent, sesuatu yang dapat membawa bumi ke dalam kehancuran.



Permasalahan utama dari Man of Steel terletak pada betapa besar ambisi, tuntutan, dan tanggungan yang harus dituntaskan oleh para pemain inti. Ambisi utamanya, jelas kita semua sudah tahu sejak awal, bahwa Man of Steel harus bisa menciptakan pondasi dasar karakter Superman yang sangat kuat untuk asupan generasi 2000 ini--ala Batman Begins, Iron Man, Thor, Captain America, dsb. Ambisi kedua, adalah membuat Man of Steel mengikuti jejak Batman, baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.

Ambisi ketiga, Man of Steel harus jauh lebih dahsyat dari film-film Marvel dan harus mengobati rasa kecewa para fans yang telah ditelurkan oleh Superman Returns tahun 2006 silam. Ambisi keempatnya adalah menanamkan benih Justice League di dalam Man of Steel, meski pada akhirnya David S. Goyer secara resmi lebih memilih untuk menanam bibitnya dengan kalem (in case kalau Justice League tidak jadi dibuat, dia tidak dituduh PHP), tidak blak-blakan seperti film aksi solo anggota The Avengers. 

Segala ambisi ini sebenarnya bisa terealisasi dengan baik asal segala eksekusi konsepnya tersebut bisa sesuai dengan urutan kepentingannya. Zack Snyder dan David S. Goyer sepertinya sering bertengkar dan memaksakan ego masing-masing pada saat proses bedah dan pematangan naskah, karena hasil akhir Man of Steel ini benar-benar terasa seperti sebuah mega proyek ambisius yang sangat labil dengan begitu banyak elemen cerita yang dicekokan ke dalamnya.

Sesaat, film ini terasa sebagai film drama pembangunan karakter yang touching dan menarik; sesaat kemudian menjelma menjadi film kalibrasi sound system arahan Michael Bay yang begitu jor-joran. Tone-nya juga tidak konsisten di sepanjang film dengan proses transisi yang sangat kasar; terkadang terasa dark, terkadang sangat komikal, dan terkadang melakonlis.



Akibatnya, kualitas pacing menjadi buruk, sangat buruk. Penonton seperti diasupi cuplikan-cuplikan episode pertumbuhan karakter Superman yang tidak lengkap, terlampau cepat dan kurang berkesan yang kemudian dipukul rata dengan adegan aksi bombastis yang mendominasi setengah film; memendam semua plot dan karakter yang sudah dibangun dengan kilatan CGI yang norak dan debuman ledakan tak berarti.

Zack Snyder terlalu tergesa-gesa untuk menampilkan hal-hal spektakuler di tiap menitnya, padahal tugas beliau di film pertama ini adalah memperjelas visinya mengenai kisah origin Superman secara perlahan-lahan tapi pasti, terlebih Man of Steel ini adalah film reboot--memulai segalanya dari awal. 

Setiap ada poin plot yang bagus, Snyder langsung berpindah ke adegan lain tanpa penyelesaian yang berarti dan berkesan. Transisinya menjadi terasa terlalu cepat karena begitu banyak adegan yang ingin dimasukkan, begitu banyak elemen cerita yang ingin diceritakan sehingga pada akhirnya, semua ini menimbulkan banyak pertanyaan yang mungkin hanya dapat dijawab oleh fans dan pembaca komiknya, tetapi terasa begitu menggantung bagi penonton biasa yang tidak mengenal Superman lebih dalam. 

Yah, seandainya saja Zack Snyder tidak memaksakan setengah durasi Man of Steel untuk diisi dengan adegan aksi, dan lebih memilih jalan yang telah ditempuh oleh Christopher Nolan lewat Batman Begins-nya, yakni memperjelas proses Clark Kent menjelma menjadi Superman, Man of Steel jelas akan menjadi film yang sangat luar biasa seperti yang sudah dijanjikan oleh trailer pertamanya. Sayang sekali.

Great Performances Save the Day. 

Untungnya, Man of Steel masih didukung oleh departemen akting yang sangat bagus. Henry Cavill is Superman, in every sense of word. Amy Adams juga berhasil mengerahkan segala yang ia punya sebagai Lois Lane; meski di sini ia hanya sekedar menjadi plot device tanpa secuil pun character story yang membuat ia terlihat LEBIH dari sekedar jurnalis, atau at least menumbuhkan sesuatu yang dapat membuat penonton paham kenapa Superman bisa jatuh hati padanya. Namun karakternya yang tangguh dan berbeda dengan film-film Superman terdahulu dapat dikatakan cukup segar dan menarik. 



Di kubu antagonisnya, bakat Michael Shannon hanya dimanfaatkan untuk berteriak dan melotot di sepanjang film ketika ia memerankan General Zod. Ditambah lagi dialognya yang sangat komikal dan perannya yang tidak lebih dari sekedar penjahat (untung saja tidak disertai dengan tertawa jahat) telah membuat General Zod sebagai tokoh antagonis tradisional dengan karakteristik yang dangkal; sesuatu yang sebenarnya sudah jarang kita temui di film-film superhero kelas A.

The real star of Man of Steel sebenarnya adalah Russell Crowe dan Kevin Costner, yang masing-masing berperan sebagai bapak Clark Kent dari dua dunia. Aura kebapakan dan kualitas aktingnya yang sangat gemilang berhasil memoles seluruh scene yang melibatkan mereka berdua ke tingkatan yang sangat berkelas.

Musik gubahan Hans Zimmer yang epic dan spektakuler, serta visual effects yang cantik juga dapat dikatakan sebagai satu-dua hal yang bekerja paling baik dalam film ini dan sesuai ekspetasi sejak awal.



Overall, Man of Steel memang berhasil mengusung premise dan konsep cerita yang sangat kuat, tetapi sayang, eksekusi dari sutradara Zack Snyder terbilang buruk. Ia terlalu berupaya membuatnya ringan, cepat dan sespektakuler mungkin. Adegan aksinya yang sangat bombastis sampai-sampai mempermalukan adegan pertarungan di The Avengers mungkin sanggup melampaui ekspetasi para pembaca komik dan fans berat Superman yang sempat kecewa dengan adegan aksi yang lesu dalam Superman returns, tetapi bagi pecinta film lainnya yang berharap lebih pada kisah origin Superman, itu semua hanya sekedar adegan bertarung ala transformers yang sangat mengganggu dan menjenuhkan. Jadi, janganlah berpikir dan berspekulasi terlalu berlebihan untuk menebak-nebak apa saja yang dipersiapkan Nolan-Snyder-Goyer dalam film ini. Jangan berekspetasi berlebih pada kompleksitas cerita, muatan filosofi yang thought-provoking dan twist-twist cerdas, karena arti dari Man of Steel ini tidak lebih dari sekedar Manusia baja. That’s all. Tidak ada kandungan arti apa-apa lagi.

Rating : ½
Length : 1515 words
Follow my twitter : @Elbert_Reyner






MAN OF STEEL (2013) : NOTHING MORE THAN JUST A STEEL


2013 / US / 143 Minutes / Zack Snyder / 2.39:1 / PG-13 

Proyek film Man of Steel telah menimbulkan kehebohan dalam skala besar selama bertahun-tahun sejak Warner Bros mengumumkan bahwa tinta tanda tangan sekomplotan dream team yang terdiri dari Christopher Nolan, Zack Snyder, Hans Zimmer dan David S. Goyer telah terabadikan di atas surat kontrak. Jalinan kerjasama keempat orang ini terlihat begitu surreal dan tidak dapat dipercaya, because it’s just too good to be true. Reputasi film ini semakin sekuat baja ketika trailer demi trailernya yang sangat luar biasa itu dirilis dan disaksikan puluhan juta kali oleh penduduk bumi--bahkan saya yakin bahwa pihak Marvel sendiri sempat gugup menghadapinya. Apakah Man of Steel berhasil mengalahkan musuh terbesarnya, yakni gempuran hype dari para fans setianya sendiri?

How Much Do You Know About Him?


Mengulas Man of Steel ini dapat dikatakan gampang-gampang susah karena penonton film ini dibagi menjadi dua kubu; dan pemikiran dari salah satu kubu pasti akan sangat bias satu sama lain. 

Kubu pertama, mereka adalah para geek sejati yang sudah mengerti segala seluk-beluk karakteristik Superman dari A-Z dan mengaku sangat puas seusai menyaksikan film ini, bahwa Man of Steel adalah film Superman yang sejati. 

Sedangkan kubu kedua, adalah penonton yang hanya memahami universe filmnya saja, yang dengan kata lain, menjadi geek yang bersumber dari lingkup film saja. Pengetahuannya hanya terbatas pada detail-detail yang berkaitan dan yang sudah disuguhkan oleh film-film terdahulu, dan tidak mengerti mengenai apa yang disajikan di media lainnya (ntah itu komik, cerpen, novel, game, or whatever). 

Sebagai pecinta film, kita semua paham bahwa film adalah sebuah karya seni yang harus dapat dinikmati dan dipahami intisarinya oleh masyarakat luas sebagai satu kesatuan--terutama apabila film tersebut berjenis kelamin blockbuster. Man of Steel dapat dikatakan gagal memenuhi kriteria tersebut apabila pada kenyataannya terdapat banyak para penikmat film serta para geek yang sangat menyukainya, dan ada pula yang sangat tidak menyukainya. 

Tetapi dalam kasus ini bukan karena disebabkan oleh "berbeda itu indah" atau karena "tiap orang punya suara", tetapi lebih karena film ini memang mengandung elemen-elemen yang dapat dikatakan cukup segmented dan tidak bersifat universal, sehingga dengan kata lain, penilaian bagus tidaknya film ini akhirnya harus kembali pada apa yang anda harapkan dan pengetahuan apa saja yang telah menjadi bekal persiapan anda sebelum menyaksikan Man of Steel. 

Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang baru bagi Zack Snyder, atau David S. Goyer, atau Christopher Nolan sendiri. Zack Snyder berhasil membuat Watchmen sebagai film superhero yang dapat dinikmati oleh semua orang, baik penonton biasa ataupun fans berat Watchmen, tanpa harus berbekal ilmu pengetahuan dasar mengenai universe Watchmen itu sendiri. Sedangkan David S. Goyer dan Christopher Nolan, berhasil memperkenalkan ulang sosok Batman sebagai simbol kepahlawaan yang luar biasa. 

Dan persamaan antara ketiga orang di atas ini adalah, mereka berhasil menyuguhkan terjemahan sinematik dari tiap lembar komiknya dengan introduksi yang sangat kuat, menarik, dan dapat memuaskan baik penonton awam maupun fans beratnya. 

Think Simpler. Expect Less.

Man of Steel dibuka dengan adegan prolog yang cukup panjang. Jor-El (Russell Crowe) memutuskan untuk mengirim putranya, Kal-El, ke bumi ketika ia mendapati bahwa planet tempat tinggalnya, Krypton, akan binasa. 

Di bumi, pesawat Kal-El mendarat dengan selamat dan ditemukan oleh sepasang suami-istri, Jonathan Kent (Kevin Costner) dan Martha Kent (Diane Lane). Kal-El (degan nama bumi Clark Kent) tumbuh bersama mereka dan lambat laun menyadari bahwa ia memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia. 

Clark Kent (Henry Cavill) kemudian memutuskan untuk menghabiskan masa remajanya dengan mencari jati diri, bereksplorasi ke seluruh dunia hingga akhirnya ia berhasil menemukan asal mula dirinya dan bertemu dengan General Zod (Michael Shannon), pentolan planet Krypton yang ingin mengambil sesuatu yang hanya dimiliki oleh Clark Kent, sesuatu yang dapat membawa bumi ke dalam kehancuran.



Permasalahan utama dari Man of Steel terletak pada betapa besar ambisi, tuntutan, dan tanggungan yang harus dituntaskan oleh para pemain inti. Ambisi utamanya, jelas kita semua sudah tahu sejak awal, bahwa Man of Steel harus bisa menciptakan pondasi dasar karakter Superman yang sangat kuat untuk asupan generasi 2000 ini--ala Batman Begins, Iron Man, Thor, Captain America, dsb. Ambisi kedua, adalah membuat Man of Steel mengikuti jejak Batman, baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.

Ambisi ketiga, Man of Steel harus jauh lebih dahsyat dari film-film Marvel dan harus mengobati rasa kecewa para fans yang telah ditelurkan oleh Superman Returns tahun 2006 silam. Ambisi keempatnya adalah menanamkan benih Justice League di dalam Man of Steel, meski pada akhirnya David S. Goyer secara resmi lebih memilih untuk menanam bibitnya dengan kalem (in case kalau Justice League tidak jadi dibuat, dia tidak dituduh PHP), tidak blak-blakan seperti film aksi solo anggota The Avengers. 

Segala ambisi ini sebenarnya bisa terealisasi dengan baik asal segala eksekusi konsepnya tersebut bisa sesuai dengan urutan kepentingannya. Zack Snyder dan David S. Goyer sepertinya sering bertengkar dan memaksakan ego masing-masing pada saat proses bedah dan pematangan naskah, karena hasil akhir Man of Steel ini benar-benar terasa seperti sebuah mega proyek ambisius yang sangat labil dengan begitu banyak elemen cerita yang dicekokan ke dalamnya.

Sesaat, film ini terasa sebagai film drama pembangunan karakter yang touching dan menarik; sesaat kemudian menjelma menjadi film kalibrasi sound system arahan Michael Bay yang begitu jor-joran. Tone-nya juga tidak konsisten di sepanjang film dengan proses transisi yang sangat kasar; terkadang terasa dark, terkadang sangat komikal, dan terkadang melakonlis.



Akibatnya, kualitas pacing menjadi buruk, sangat buruk. Penonton seperti diasupi cuplikan-cuplikan episode pertumbuhan karakter Superman yang tidak lengkap, terlampau cepat dan kurang berkesan yang kemudian dipukul rata dengan adegan aksi bombastis yang mendominasi setengah film; memendam semua plot dan karakter yang sudah dibangun dengan kilatan CGI yang norak dan debuman ledakan tak berarti.

Zack Snyder terlalu tergesa-gesa untuk menampilkan hal-hal spektakuler di tiap menitnya, padahal tugas beliau di film pertama ini adalah memperjelas visinya mengenai kisah origin Superman secara perlahan-lahan tapi pasti, terlebih Man of Steel ini adalah film reboot--memulai segalanya dari awal. 

Setiap ada poin plot yang bagus, Snyder langsung berpindah ke adegan lain tanpa penyelesaian yang berarti dan berkesan. Transisinya menjadi terasa terlalu cepat karena begitu banyak adegan yang ingin dimasukkan, begitu banyak elemen cerita yang ingin diceritakan sehingga pada akhirnya, semua ini menimbulkan banyak pertanyaan yang mungkin hanya dapat dijawab oleh fans dan pembaca komiknya, tetapi terasa begitu menggantung bagi penonton biasa yang tidak mengenal Superman lebih dalam. 

Yah, seandainya saja Zack Snyder tidak memaksakan setengah durasi Man of Steel untuk diisi dengan adegan aksi, dan lebih memilih jalan yang telah ditempuh oleh Christopher Nolan lewat Batman Begins-nya, yakni memperjelas proses Clark Kent menjelma menjadi Superman, Man of Steel jelas akan menjadi film yang sangat luar biasa seperti yang sudah dijanjikan oleh trailer pertamanya. Sayang sekali.

Great Performances Save the Day. 

Untungnya, Man of Steel masih didukung oleh departemen akting yang sangat bagus. Henry Cavill is Superman, in every sense of word. Amy Adams juga berhasil mengerahkan segala yang ia punya sebagai Lois Lane; meski di sini ia hanya sekedar menjadi plot device tanpa secuil pun character story yang membuat ia terlihat LEBIH dari sekedar jurnalis, atau at least menumbuhkan sesuatu yang dapat membuat penonton paham kenapa Superman bisa jatuh hati padanya. Namun karakternya yang tangguh dan berbeda dengan film-film Superman terdahulu dapat dikatakan cukup segar dan menarik. 



Di kubu antagonisnya, bakat Michael Shannon hanya dimanfaatkan untuk berteriak dan melotot di sepanjang film ketika ia memerankan General Zod. Ditambah lagi dialognya yang sangat komikal dan perannya yang tidak lebih dari sekedar penjahat (untung saja tidak disertai dengan tertawa jahat) telah membuat General Zod sebagai tokoh antagonis tradisional dengan karakteristik yang dangkal; sesuatu yang sebenarnya sudah jarang kita temui di film-film superhero kelas A.

The real star of Man of Steel sebenarnya adalah Russell Crowe dan Kevin Costner, yang masing-masing berperan sebagai bapak Clark Kent dari dua dunia. Aura kebapakan dan kualitas aktingnya yang sangat gemilang berhasil memoles seluruh scene yang melibatkan mereka berdua ke tingkatan yang sangat berkelas.

Musik gubahan Hans Zimmer yang epic dan spektakuler, serta visual effects yang cantik juga dapat dikatakan sebagai satu-dua hal yang bekerja paling baik dalam film ini dan sesuai ekspetasi sejak awal.



Overall, Man of Steel memang berhasil mengusung premise dan konsep cerita yang sangat kuat, tetapi sayang, eksekusi dari sutradara Zack Snyder terbilang buruk. Ia terlalu berupaya membuatnya ringan, cepat dan sespektakuler mungkin. Adegan aksinya yang sangat bombastis sampai-sampai mempermalukan adegan pertarungan di The Avengers mungkin sanggup melampaui ekspetasi para pembaca komik dan fans berat Superman yang sempat kecewa dengan adegan aksi yang lesu dalam Superman returns, tetapi bagi pecinta film lainnya yang berharap lebih pada kisah origin Superman, itu semua hanya sekedar adegan bertarung ala transformers yang sangat mengganggu dan menjenuhkan. Jadi, janganlah berpikir dan berspekulasi terlalu berlebihan untuk menebak-nebak apa saja yang dipersiapkan Nolan-Snyder-Goyer dalam film ini. Jangan berekspetasi berlebih pada kompleksitas cerita, muatan filosofi yang thought-provoking dan twist-twist cerdas, karena arti dari Man of Steel ini tidak lebih dari sekedar Manusia baja. That’s all. Tidak ada kandungan arti apa-apa lagi.

Rating : ½
Length : 1515 words
Follow my twitter : @Elbert_Reyner






No comments