THE LAST STAND
2013 / 107 Minutes / Kim-Jee Woon / US / 2.39:1 / R
Kalau Marvel memiliki The Avengers dengan aksi-aksi solo para superhero-nya, maka Sylvester Stallone dan kawan-kawannya, bintang aksi era 1980-1990an, secara kebetulan juga mempunyai The Expendables sebagai ajang pembuktian bahwa mereka masih ada dan masih memiliki keahlian melepas nyawa musuhya layaknya mesin pembunuh tanpa ampun.
Setelah dirasa cukup, mereka ‘pecah’ sementara dengan membuat film-film aksi solo mereka masing-masing. Seperti Arnold Schwarzenegger dengan The Last Stand (yang akan dibahas kali ini), Sylvester Stallone dengan Bullet to the Head, dan setelah itu disusul dengan film aksi yang dibintangi mereka berdua di The Tomb yang rencananya akan dirilis bulan Agustus nanti. Ah, jangan lupa dengan Bruce Willis, salah satu aktor yang masih berhasil menjaga kebintangannya selama 3 dekade, yang akan kembali memerankan karakter John McClane untuk kelima kalinya di film ‘A Good Day to Die Hard’, dan juga di film sekuel adaptasi komik yang konsepnya kurang lebih sama dengan Expendables, Red 2.
Well, di luar itu semua, apakah segala usaha mereka ini dapat dijadikan sebagai minyak pelumas untuk semakin mempopulerkan franchise-wanna-be The Expendables dan juga memijarkan sinar kebintangan mereka sendiri?
Arnold is the sheriff.
Fortunately, yes. Film-film aksi solo ini dapat dikatakan menjadi ajang come-back para bintang-bintang aksi tersebut, terutama Arnold dan Stallone, untuk ikut meramaikan jagat persaingan dengan menonjolkan segala kelebihan mereka yang ternyata masih belum sanggup dilampaui oleh para “penggantinya”, ya sebut saja Jason Statham yang film-filmnya tidak dapat menyamai secuil pun keikonikan para predesesornya.
Oke. Mari kembali ke pembahasan The Last Stand. Film ini berkisah mengenai seorang sheriff pensiunan bernama Ray Owens (played by the one and the only Arnold Schwarzenegger) yang harus kembali ke lapangan setelah mendapat kabar dari agen FBI John Bannister (Forest Whitaker) bahwa salah seorang buronan kelas kakap, Gabriel Cortez (Eduardo Noriega) akan kabur ke wilayahnya, Sommerton.
Karakter sheriff yang diperankan Arnold ini sepertinya memang sengaja dibuat spesial untuk Arnold dan juga para fans-nya. Sosok Ray Owens, di luar karakternya yang disesuaikan dengan kondisi Arnold saat ini, juga tidak lupa untuk menyenggol ingatan kita dengan karakter-karakter yang sudah pernah is perankan sebelumnya, seperti ketika Ray mengucapkan kata “negative” dan cara ia menggunakan shotgun serta machine gun sungguh mengingatkan para fans-nya dengan film Terminator 2. Belum lagi keberadaan beberapa one-liner yang hanya bisa dilontarkan Arnold dengan begitu amazing di film ini seperti “I’m the sheriff”, “You fucked my day-off”, dan lain sebagainya.
Kesimpulannya, sosok Ray Owens benar-benar telah merealisasikan quote yang sudah begitu lekat dengan sosok Arnold ke dunia nyata : I’ll be back. And he is truly coming back with a bang. So, bagi para fans berat Arnold Schwarzenegger, anda sebaiknya berhenti di sini, berhenti mencari info apakah film ini bagus atau tidak, dan segera membeli tiketnya.
Hal-hal di atas jelas tidak akan terjadi tanpa kerja keras Kim-Jee Woon, selaku sutradara The Last Stand. Ia adalah salah satu sineas kelahiran Korea yang pertama kali unjuk gigi tahun ini sebelum diikuti oleh teman-teman lainnya seperti Park Chan-Wook lewat film Stoker bulan Maret nanti. Well, bisa dikatakan Hollywood sudah semakin mengakui dan menyadari bahwa mereka juga membutuhkan sentuhan sineas asing. Dan berkat film ini pula, karir Kim-Jee Woon jelas akan semakin bersinar di skala internasional.
The Last Stand memang cukup kontras dengan film-film Kim sebelumnya. Bukan hal baru sebenarnya karena apabila menilik sepak terjangnya di Korea sana, Kim memang terkenal suka membuat film dengan beragam genre seperti horror (A Tale of Two Sisters), Spaghetti Western (The Good The Bad The Weird) sampai Thriller yang sadisnya minta ampun (I Saw the Devil).
Untuk The Last Stand kali ini, ia ditugaskan untuk mengangkat kembali pesona Arnold Schwarzenegger sebagai seorang action-star legendaris. Dan bisa ditebak, Kim berhasil menuntaskan pekerjaannya itu dengan baik. The Last Stand jelas bukan sekedar film aksi bernuansa klasik ala Statham, ia lebih dari itu.
Penggabungan yang nyaris sempurna antara adegan aksi dari dunia western dengan dunia modern telah membuat film ini sangat enjoyable dan terasa unik, bahkan di adegan “terburuk”nya sekalipun. Untuk lebih mudah membayangkannya, The Last Stand dapat dikatakan sebagai Fast and Furious bergaya Western. Dan hal ini bukanlah tanpa alasan karena para penonton akan disuguhi banyak momen-momen yang melibatkan mobil-mobil keren, adegan aksi yang bombastis, fun, dan berdarah-darah di belantara kota kecil yang old fashioned. Tidak hanya itu, sentuhan dark humor yang pastinya akan memicu gelak tawa penonton juga turut disuntikkan. Ntah kenapa, saya merasa kalau semua itu adalah sebuah metafora yang menjelaskan bahwa film ini adalah film action beraroma klasik untuk penonton modern. Apapun itu, formula tersebut bekerja dengan baik.
Sedangkan untuk departemen supporting actor-actress-nya, The Last Stand diisi dengan bintang Asia, ntah siapa namanya, dan ntah dari Korea atau bukan, lalu Forest Whitaker yang kelewat sering terlibat di film-film non-Oscar padahal dia pemenang Oscar.
Untuk pembantu Arnold Schwarzegger, ada cewek Thor dari Asgard, Jaimie Alexander; lalu si konyol Johnny Knoxville sebagai pemilik museum senjata yang sangat berperan besar untuk intensitas fun film ini, hingga Rodrigo Santoro yang wajahnya berubah drastis sampai tidak terdeteksi (300, Charlie’s Angels).
Semuanya oke-oke saja dalam menjalani perannya masing-masing : yakni menjadi hiasan belaka. Maklum, bintang utamanya memang Arnold Schwarzenegger dan lampu sorot juga enggan untuk beralih dari sosoknya, jadi mau bagaimana lagi?
Sayangnya, di luar segala hidangan pembangkit selera di atas, rasa Hollywood yang kurang lezat juga terdapat pada beberapa bagian film ini, terutama pada segmen naskah dan plotnya yang hanya berhasil nendang, meski formulaic, di awal filmnya saja. Sisanya, seakan-akan sang penulis dan sutradara sudah terlalu asyik meramu adegan aksi dan merancang apa saja kegilaan yang akan mereka masukan hingga harus memotong beragam poin plot penting.
Dan untungnya, segala kegilaan yang mereka racik itu sukses membuat para penontonnya masa bodo dengan cerita, toh mereka juga sudah familiar dengan kerangka ceritanya dan mengerti benar seluk-beluknya tanpa harus diceritakan lagi di sini.
Overall, The Last Stand adalah secarik surat cinta dari Arnold Schwarzenegger yang berisi segala hal yang ingin dibaca oleh para fansnya atau siapapun yang familiar dengan sosok mantan gubernur California ini ketika beliau masih menjadi salah seorang action-star legendaris dari Hollywood. Dan kita harus tahu itu sebelum menyaksikan The Last Stand.
No comments