Halaman

Beautiful.




THE HOST
2013 / 130 Minutes / Andrew Niccol / US / 2.39:1 / PG-13

The Host, by any means, memang bukan ditujukan sebagai sequel langsung dari The Twilight Saga. Bahkan sangat jauh dari kata spin-off. Stephenie Meyer, sang penulis novel The Host sendiri, juga menyatakan bahwa The Host adalah kisah tentang cinta terbarunya dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia Twilight. Sedangkan Hollywood melihatnya sebagai mesin pencetak uang karena nama “besar” Stephenie Meyer dan kenyataan bahwa The Host adalah penerus kedigdayaan Twilight Saga-nya. Well, apapun itu, para lelaki tetap akan menganggapnya sebagai sequel dari penderitaan mereka selanjutnya karena sang penulis ternyata masih belum mau hengkang untuk menelurkan kisah cinta lebay yang tidak masuk akal. Sedangkan kaum hawa, sebagian besar dari mereka sudah pasti siap untuk melahap apapun yang dibuat oleh Stephenie Meyer. Jadi, siapakah yang benar dan siapakah yang salah?



Sebelum kita melanjutkan lagi, let me tell you one more thing. The Host memiliki kekontrasan yang cukup signifikan dengan Twilight, and in a good way. Para penonton memang masih akan menemukan beberapa unsur romansa yang janggal dan norak khas Stephenie Meyer di sepanjang durasinya, tetapi film ini memiliki lebih dari itu. The Host berhasil mengusung sebuah konsep dan alur cerita menarik mengenai alien invasion yang dieksekusi dengan formula yang sama sekali tidak biasa, yang membuat film ini far more superior than The Twilight Saga. 

Seperti halnya film-film fantasi kebanyakan, The Host juga dibuka dengan narasi yang memperkenalkan para penonton dengan set dunia dalam film ini, di mana rombongan alien bernama Soul berhasil menguasai dunia. Soul ini sendiri bukan alien jahat yang memporak-porandakan bumi. Mereka berwujud parasit dan menginangi tubuh manusia untuk bertahan hidup guna mewujudkan tujuan mereka yang mulia. 

Bertahun-tahun semenjak kejadian itu, muncul sesosok manusia perempuan bernama Melanie Stryder (Saoirse Ronan) yang tengah bergabung dengan pacarnya, Jared (Max Irons) dan sekumpulan tim pemberontak untuk mengusir para Soul sekaligus bertahan hidup. Sayang, ketika menjalankan misinya, Melanie justru ditangkap oleh Seeker (Diane Kruger; para Soul yang bertugas mencari manusia) dan menanamkan Soul bernama Wanderer di dalam tubuhnya untuk membaca pikiran Melanie dan membawa para Seeker menuju ke tempat persembunyian para pemberontak. 

Akan tetapi, ketangguhan jiwa dan rasa cinta Melanie terhadap Jared membuat Wanderer berubah pikiran dan mulai mempertanyakan dirinya sendiri : siapa musuh mereka sebenarnya? 

Kisah alien invasion yang “banci”



Dilihat dari sipnosis dan juga beragam materi marketingnya, The Host memang terasa seperti cerita Alien Invasion yang cowok banget dengan campuran unsur Twilight yang cewek banget di dalamnya. Dan persepsi ini tidak salah karena memang hal itulah yang diinginkan oleh pihak studio dan tim marketingnya : cinta segitiga antara manusia-alien-manusia, ala Twilight.

Tetapi argumen tersebut dapat dikatakan cenderung kurang layak untuk menggambarkan The Host. Film ini lebih layak digambarkan sebagai sebuah kisah alien invasion yang diambil dari sudut pandang sang alien dengan penekanan cerita pada sisi humanisnya. Dan hal ini tentu membuat The Host sangat berbeda dengan film-film alien invasion kebanyakan dan cukup kontras dengan apa yang diharapkan atau dipersepsikan oleh para penonton. Ya, bahkan dari harapan Twi-hard sekalipun.

Kekuatan utama dari film ini terletak pada sisi human drama-nya yang kental akan sindiran sosial, pelajaran tentang moral, dan juga pada penekanan bagaimana rasa duka dan harapan itu begitu mempengaruhi kehidupan manusia yang disematkan di hampir keseluruhan durasinya. Dan berkat performa akting dari Saoirse Ronan yang begitu luar biasa, surprisingly, konsep tersebut berhasil membuka pikiran penonton, menyentuh hati--terutama bagi mereka yang pernah kehilangan orang yang dicintai--dan sekaligus memberi keunikan tersendiri terhadap genre alien invasion itu sendiri. 

The Host telah mengajak kita untuk menelusuri kekompleksan moral kehidupan tentang bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kita cintai dan apa yang akan kita rasakan, apa yang akan kita lakukan ketika tubuh orang yang kita cintai itu diisi oleh jiwa lain yang begitu kita benci. Dan hal ini secara tidak langsung berhasil mengkonversi kisah romansa menye-menye dan drama keluarganya menjadi terasa begitu fresh, bagus, merobek hati, menohok, dan dapat dikatakan cukup jarang disajikan dengan begitu mendalam di film-film sejenis (meski di sisi lain, Andrew Niccol, sang sutradara, masih menggunakan beberapa trik klasik dengan pendekatan ala kisah Pocahontas / Avatar). 

Akan tetapi, unsur human drama yang memonopoli durasi dua jamnya itu, mau tidak mau, telah menjadikan The Host terasa sebagai sebuah sajian kisah penyerbuan alien yang cenderung egois dan mengkhianati genre-nya itu sendiri. Film ini menolak untuk memperlebar sayap mitologinya dengan memperkenalkan para penonton terhadap cara kerja Soul yang seharusnya bisa dibuat lebih detail, ataupun bagaimana dampak parasit Soul ini terhadap dunia, roda perekonomian, budaya, sampai pada rutinitas kehidupan sehari-hari selain pada kehancuran umat manusia. 

Plot The Host justru membuang semua potensi itu dan seakan-akan menganggap para penonton sudah mengerti sendiri. Ia hanya fokus pada bagaimana manusia bertahan hidup di wilayah terpencil tanpa berusaha mencari solusi mengalahkan para alien yang sangat mereka benci itu. Kalau adapun, itu hanya sekedar disinggung saja. Lucunya lagi, mereka memiliki alien (si Wanderer) yang seharusnya bisa diinterogasi sampai tuntas demi memutar roda plotnya ke arah yang lebih kompleks.

Gaya penceritaannya yang cenderung sempit dan bergerak di tempat ini ujung-ujungnya malah menimbulkan plot hole yang menganga lebar dan juga membuat film ini mengalir cukup lambat karena hal-hal yang disajikan hanya itu-itu saja tanpa adanya perkembangan lebih lanjut di beragam aspek lainnya. Padahal, seperti yang sudah dibahas di atas, kita belum mengenal dunia post-apocalypse rekaan Stephenie Meyer tersebut.

Sehingga suka atau tidaknya penonton terhadap The Host, hanya berpegang pada satu hal dan satu hal itu saja, yakni persepsi mereka terhadap pekatnya drama dan juga perkembangan karakternya--yang untungnya masih berhasil dibuat dengan baik. 

Twilight-esque?



Seperti yang telah kita ketahui, penyakit utama dari The Twilight Saga adalah bagaimana segala keindahan dalam bukunya itu tidak dapat ditransfer ke medium visual dengan baik. Sayangnya, hal ini terjadi pula dengan film adaptasi The Host. 

Di atas lembaran kertas, Stephenie Meyer menceritakan perang adu mulut antara jiwa Wanderer dengan Melanie dari sudut pandang orang pertama yang mana semuanya terjadi di dalam batin tubuh Melanie. Coba bayangkan cara terbaik untuk menggambarkannya secara visual. 

Yeah. Voice Over. 

Dan V.O ini tidak diutarakan satu-dua kali, tetapi di hampir sepanjang film. Parahnya lagi, Andrew Niccol menyuguhkannya dengan cara tradisional yang sama sekali tidak elegan sehingga ujung-ujungnya, V.O ini justru membuat The Host terasa annoying dan murahan daripada membuat penonton menjadi lebih dekat dengan sosok Melanie/Wanderer. Untuk lebih mudah membayangkannya, V.O dalam film The Host mirip dengan (maaf) sinetron-sinetron Indonesia di mana para sineasnya juga sering memvisualkan bahasa batin. Bahkan saking seringnya dipakai,  V.O ini juga turut merusak beberapa moment utama yang seharusnya bisa bekerja maksimal namun berakhir konyol dan cartoonish.

Sedangkan bagi para sci-fi fans, The Host, by far, adalah salah satu film alien invasion yang paling minim action dalam beberapa tahun terakhir. Budget $44 million sepertinya lebih banyak dihabiskan untuk mendirikan set tempat daripada membangun thrill yang di sepanjang film ini terasa begitu datar. Arahan dari sutradara Andrew Niccols sendiri pun sedikit banyak mengingatkan para penonton dengan arahan Bill Condon dalam dua film Breaking Dawn yang cenderung amatiran dan awkward sehingga membuat kita bingung, ini salah source materialnya atau tuntutan dari pihak studio; mengingat dua orang sutradara ini adalah pemain lama Hollywood.


Overall, The Host adalah film alien invasion unik dengan unsur human drama yang kuat, menyentuh dan membuka pikiran penontonnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang moral, meski di sisi lain, film ini juga memiliki kekurangan yang tidak bisa dipandang remeh seperti supporting character (terutama para karakter antagonis) yang sekedar tempelan, plot yang bergerak di tempat, dan konsep mitologinya yang cenderung digodok setengah matang. Tetapi apapun itu, film ini jelas tidak layak mendapatkan rating 12% di situs Rottentomatoes hanya karena menyandang brand Stephenie Meyer. 




THE HOST (2013) : MEMOIRS OF A SOUL

Beautiful.




THE HOST
2013 / 130 Minutes / Andrew Niccol / US / 2.39:1 / PG-13

The Host, by any means, memang bukan ditujukan sebagai sequel langsung dari The Twilight Saga. Bahkan sangat jauh dari kata spin-off. Stephenie Meyer, sang penulis novel The Host sendiri, juga menyatakan bahwa The Host adalah kisah tentang cinta terbarunya dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia Twilight. Sedangkan Hollywood melihatnya sebagai mesin pencetak uang karena nama “besar” Stephenie Meyer dan kenyataan bahwa The Host adalah penerus kedigdayaan Twilight Saga-nya. Well, apapun itu, para lelaki tetap akan menganggapnya sebagai sequel dari penderitaan mereka selanjutnya karena sang penulis ternyata masih belum mau hengkang untuk menelurkan kisah cinta lebay yang tidak masuk akal. Sedangkan kaum hawa, sebagian besar dari mereka sudah pasti siap untuk melahap apapun yang dibuat oleh Stephenie Meyer. Jadi, siapakah yang benar dan siapakah yang salah?



Sebelum kita melanjutkan lagi, let me tell you one more thing. The Host memiliki kekontrasan yang cukup signifikan dengan Twilight, and in a good way. Para penonton memang masih akan menemukan beberapa unsur romansa yang janggal dan norak khas Stephenie Meyer di sepanjang durasinya, tetapi film ini memiliki lebih dari itu. The Host berhasil mengusung sebuah konsep dan alur cerita menarik mengenai alien invasion yang dieksekusi dengan formula yang sama sekali tidak biasa, yang membuat film ini far more superior than The Twilight Saga. 

Seperti halnya film-film fantasi kebanyakan, The Host juga dibuka dengan narasi yang memperkenalkan para penonton dengan set dunia dalam film ini, di mana rombongan alien bernama Soul berhasil menguasai dunia. Soul ini sendiri bukan alien jahat yang memporak-porandakan bumi. Mereka berwujud parasit dan menginangi tubuh manusia untuk bertahan hidup guna mewujudkan tujuan mereka yang mulia. 

Bertahun-tahun semenjak kejadian itu, muncul sesosok manusia perempuan bernama Melanie Stryder (Saoirse Ronan) yang tengah bergabung dengan pacarnya, Jared (Max Irons) dan sekumpulan tim pemberontak untuk mengusir para Soul sekaligus bertahan hidup. Sayang, ketika menjalankan misinya, Melanie justru ditangkap oleh Seeker (Diane Kruger; para Soul yang bertugas mencari manusia) dan menanamkan Soul bernama Wanderer di dalam tubuhnya untuk membaca pikiran Melanie dan membawa para Seeker menuju ke tempat persembunyian para pemberontak. 

Akan tetapi, ketangguhan jiwa dan rasa cinta Melanie terhadap Jared membuat Wanderer berubah pikiran dan mulai mempertanyakan dirinya sendiri : siapa musuh mereka sebenarnya? 

Kisah alien invasion yang “banci”



Dilihat dari sipnosis dan juga beragam materi marketingnya, The Host memang terasa seperti cerita Alien Invasion yang cowok banget dengan campuran unsur Twilight yang cewek banget di dalamnya. Dan persepsi ini tidak salah karena memang hal itulah yang diinginkan oleh pihak studio dan tim marketingnya : cinta segitiga antara manusia-alien-manusia, ala Twilight.

Tetapi argumen tersebut dapat dikatakan cenderung kurang layak untuk menggambarkan The Host. Film ini lebih layak digambarkan sebagai sebuah kisah alien invasion yang diambil dari sudut pandang sang alien dengan penekanan cerita pada sisi humanisnya. Dan hal ini tentu membuat The Host sangat berbeda dengan film-film alien invasion kebanyakan dan cukup kontras dengan apa yang diharapkan atau dipersepsikan oleh para penonton. Ya, bahkan dari harapan Twi-hard sekalipun.

Kekuatan utama dari film ini terletak pada sisi human drama-nya yang kental akan sindiran sosial, pelajaran tentang moral, dan juga pada penekanan bagaimana rasa duka dan harapan itu begitu mempengaruhi kehidupan manusia yang disematkan di hampir keseluruhan durasinya. Dan berkat performa akting dari Saoirse Ronan yang begitu luar biasa, surprisingly, konsep tersebut berhasil membuka pikiran penonton, menyentuh hati--terutama bagi mereka yang pernah kehilangan orang yang dicintai--dan sekaligus memberi keunikan tersendiri terhadap genre alien invasion itu sendiri. 

The Host telah mengajak kita untuk menelusuri kekompleksan moral kehidupan tentang bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kita cintai dan apa yang akan kita rasakan, apa yang akan kita lakukan ketika tubuh orang yang kita cintai itu diisi oleh jiwa lain yang begitu kita benci. Dan hal ini secara tidak langsung berhasil mengkonversi kisah romansa menye-menye dan drama keluarganya menjadi terasa begitu fresh, bagus, merobek hati, menohok, dan dapat dikatakan cukup jarang disajikan dengan begitu mendalam di film-film sejenis (meski di sisi lain, Andrew Niccol, sang sutradara, masih menggunakan beberapa trik klasik dengan pendekatan ala kisah Pocahontas / Avatar). 

Akan tetapi, unsur human drama yang memonopoli durasi dua jamnya itu, mau tidak mau, telah menjadikan The Host terasa sebagai sebuah sajian kisah penyerbuan alien yang cenderung egois dan mengkhianati genre-nya itu sendiri. Film ini menolak untuk memperlebar sayap mitologinya dengan memperkenalkan para penonton terhadap cara kerja Soul yang seharusnya bisa dibuat lebih detail, ataupun bagaimana dampak parasit Soul ini terhadap dunia, roda perekonomian, budaya, sampai pada rutinitas kehidupan sehari-hari selain pada kehancuran umat manusia. 

Plot The Host justru membuang semua potensi itu dan seakan-akan menganggap para penonton sudah mengerti sendiri. Ia hanya fokus pada bagaimana manusia bertahan hidup di wilayah terpencil tanpa berusaha mencari solusi mengalahkan para alien yang sangat mereka benci itu. Kalau adapun, itu hanya sekedar disinggung saja. Lucunya lagi, mereka memiliki alien (si Wanderer) yang seharusnya bisa diinterogasi sampai tuntas demi memutar roda plotnya ke arah yang lebih kompleks.

Gaya penceritaannya yang cenderung sempit dan bergerak di tempat ini ujung-ujungnya malah menimbulkan plot hole yang menganga lebar dan juga membuat film ini mengalir cukup lambat karena hal-hal yang disajikan hanya itu-itu saja tanpa adanya perkembangan lebih lanjut di beragam aspek lainnya. Padahal, seperti yang sudah dibahas di atas, kita belum mengenal dunia post-apocalypse rekaan Stephenie Meyer tersebut.

Sehingga suka atau tidaknya penonton terhadap The Host, hanya berpegang pada satu hal dan satu hal itu saja, yakni persepsi mereka terhadap pekatnya drama dan juga perkembangan karakternya--yang untungnya masih berhasil dibuat dengan baik. 

Twilight-esque?



Seperti yang telah kita ketahui, penyakit utama dari The Twilight Saga adalah bagaimana segala keindahan dalam bukunya itu tidak dapat ditransfer ke medium visual dengan baik. Sayangnya, hal ini terjadi pula dengan film adaptasi The Host. 

Di atas lembaran kertas, Stephenie Meyer menceritakan perang adu mulut antara jiwa Wanderer dengan Melanie dari sudut pandang orang pertama yang mana semuanya terjadi di dalam batin tubuh Melanie. Coba bayangkan cara terbaik untuk menggambarkannya secara visual. 

Yeah. Voice Over. 

Dan V.O ini tidak diutarakan satu-dua kali, tetapi di hampir sepanjang film. Parahnya lagi, Andrew Niccol menyuguhkannya dengan cara tradisional yang sama sekali tidak elegan sehingga ujung-ujungnya, V.O ini justru membuat The Host terasa annoying dan murahan daripada membuat penonton menjadi lebih dekat dengan sosok Melanie/Wanderer. Untuk lebih mudah membayangkannya, V.O dalam film The Host mirip dengan (maaf) sinetron-sinetron Indonesia di mana para sineasnya juga sering memvisualkan bahasa batin. Bahkan saking seringnya dipakai,  V.O ini juga turut merusak beberapa moment utama yang seharusnya bisa bekerja maksimal namun berakhir konyol dan cartoonish.

Sedangkan bagi para sci-fi fans, The Host, by far, adalah salah satu film alien invasion yang paling minim action dalam beberapa tahun terakhir. Budget $44 million sepertinya lebih banyak dihabiskan untuk mendirikan set tempat daripada membangun thrill yang di sepanjang film ini terasa begitu datar. Arahan dari sutradara Andrew Niccols sendiri pun sedikit banyak mengingatkan para penonton dengan arahan Bill Condon dalam dua film Breaking Dawn yang cenderung amatiran dan awkward sehingga membuat kita bingung, ini salah source materialnya atau tuntutan dari pihak studio; mengingat dua orang sutradara ini adalah pemain lama Hollywood.


Overall, The Host adalah film alien invasion unik dengan unsur human drama yang kuat, menyentuh dan membuka pikiran penontonnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang moral, meski di sisi lain, film ini juga memiliki kekurangan yang tidak bisa dipandang remeh seperti supporting character (terutama para karakter antagonis) yang sekedar tempelan, plot yang bergerak di tempat, dan konsep mitologinya yang cenderung digodok setengah matang. Tetapi apapun itu, film ini jelas tidak layak mendapatkan rating 12% di situs Rottentomatoes hanya karena menyandang brand Stephenie Meyer. 




No comments